Thursday, 27 August 2015

Asal Usul Hari Ulambana



Asal Usul Hari Ulambana

Lunar bulan 7 hari ke-15 merupakan Hari Sukacita Para Buddha, disebut sebagai Hari Ulambana. Di berbagai pelosok dunia diadakan Upacara Kebaktian Ulambana, terutama di Chaozhou, Provinsi Guangdong, kita dapat melihat di jalanan-jalanan, masyarakat masih mengikuti tradisi yang kental, mengadakan upacara-upacara dan ritual-ritual yang besar-besaran, membakar pakaian kertas dan mendanakan makanan kepada para arwah, tradisi ini kemudian menyebar bahkan hingga pada sebagian penduduk perkotaan, menganggap bahwa Hari Ulambana merupakan festival hantu.

Sebenarnya pemahaman orang banyak pada Hari Ulambana kian hari kian kabur. Apalagi tidak mengetahui asal usulnya, maka itu sulit untuk berbuat mengikuti makna sesungguhnya yang dikandung oleh hari sejahtera tersebut. Semua orang hanya tahu meniru apa yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya, tanpa menanyakan kejelasannya.   

Ulambana berasal dari Bahasa India, yang berarti menolong para makhluk yang amat menderita. Tradisi bervegetarian di bulan tujuh di Negeri Tirai Bambu adalah dimulai dari masa pemerintahan Kaisar Liang Wu-di (464~549), tradisi ini kemudian berkembang terus hingga hari ini.

Kisah Hari Ulambana berasal dari Agama Buddha, yakni tentang Yang Ariya Maha Maudgalyayana menolong ibundanya. Maudgalyayana merupakan salah satu dari sepuluh siswa utama Buddha Sakyamuni, setelah meninggalkan keduniawian, Maudgalyayana begitu giat melatih diri, sehingga tidak lama kemudian berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat, memperoleh enam jenis kekuatan gaib.

Yang disebut dengan enam jenis kekuatan gaib tersebut adalah :
1.    Memiliki kekuatan gaib sempurna; menjelma dengan bebas, datang dan pergi tanpa rintangan.
2.    Mata Dewa; mampu melihat Alam Surga dan Alam Neraka tanpa rintangan.
3.    Telinga Dewa, mampu mendengar baik jarak dekat maupun jauh tanpa rintangan.
4.  Dapat membaca isi pikiran orang lain; apa yang dipikirkan orang lain dapat diketahui tanpa rintangan.
5.    Dapat mengetahui masa kelahiran yang lampau; masa kelahiran yang lampau baik dari diri sendiri maupun orang lain, dapat diketahui tanpa rintangan.
6.    Kemampuan gaib yang diperoleh setelah melenyapkan kekotoran batin
    
Maudgalyayana sejak meninggalkan keduniawian, belum mampu mengetahui di mana keberadaan mendiang ibundanya, namun kini setelah memperoleh kekuatan gaib, dengan Mata Dewa mampu melihat ke atas hingga alam tingkatan 28, sedangkan ke bawah dapat melihat hingga Alam Neraka tingkat 18, mencari ke seluruh pelosok, namun akhirnya tidak juga berhasil.

Kemudian Maudgalyayana melanjutkan pencarian hingga ke Alam Preta (Alam Setan Kelaparan), melihat banyak sekali setan-setan kelaparan di sana menjalani siksaan, tiba-tiba Maudgalyayana menemukan ibundanya di dalam Alam Preta tersebut, perutnya kembung bagaikan tambur, sedangkan tenggorokannya sempit bagaikan lubang jarum, tahun demi tahun, bulan demi bulan, harus menahan siksaan lapar dan haus.   

Maudgalyayana yang melihat penderitaan ibundanya, amat bersedih hati. Maka itu dia segera mengisi penuh patranya dengan nasi, dengan kekuatan gaib sempurna , memberi persembahan kepada ibundanya, sang bunda yang setelah mendapatkan patra berisi nasi tersebut, segera menggunakan sepasang tangannya memeluk erat patra tersebut, takut dirampas oleh setan kelaparan lainnya, dengan menggunakan  tangan kanannya dia mengambil nasi tersebut, berharap dapat mengganjal perutnya yang kelaparan.
   
Namun di luar dugaan, sang bunda yang semasa hidupnya kikir dan serakah, kemudian setelah meninggal jatuh ke Alam Setan Kelaparan, harus menerima balasannya, begitu nasi tersebut sampai di tepi bibirnya, tiba-tiba berubah menjadi arang api. Meskipun kekuatan gaib Maudgalyaya itu sangat sakti, namun juga tak berdaya, Maudgalyayana menangis tersedu-sedu.

Karena tidak memiliki cara lainnya, kemudian Maudgalyayana menghadap Buddha Sakyamuni, menceritakan pengalaman yang dialaminya, memohon pada Bhagava agar menampilkan Upaya Kausalya untuk menyelamatkan ibundanya.

Buddha Sakyamuni berkata : “Karma buruk yang diperbuat ibunda anda amat berat, semasa hidupnya tidak meyakini Triratna, selalu membunuh mencelakai makhluk hidup, mengira tidak ada Hukum Karma, melakukan berbagai perbuatan jahat lainnya, maka itu kini dia menerima buah akibatnya, tetapi dengan mengandalkan kekuatanmu seorang saja, bagaimana bisa menyelamatkannya?

Hanya ada satu cara yakni dengan meminjam kekuatan kewibawaan seluruh anggota Sangha di sepuluh penjuru, barulah dapat menyelamatkannya dari penderitaan. Meskipun Buddha memiliki kekuatan Dharma yang tak terbayangkan, namun juga tidak bisa secara langsung menyelamatkan ibundamu, oleh karena Buddha juga tidak dapat mengubah karma tetap.

Maka itu harus pada lunar bulan 7 hari ke-15, dengan beragam hidangan atau tempat perbaringan, memberi persembahan kepada para anggota Sangha di sepuluh penjuru. Dengan meminjam kekuatan bersama dari para anggota Sangha, membangkitkan tekad dan melakukan pelimpahan jasa buat ibundamu, barulah dapat menolong ibundamu agar terbebas dari Alam Setan Kelaparan dan terlahir di Alam Surga”.        

Maudgalyayana mengikuti petunjuk yang diberikan Buddha Sakyamuni, akhirnya berhasil menyelamatkan ibundanya.



  農曆七月十五是佛歡喜日,俗稱盂蘭盆節或 盂蘭勝會。港九各地舉行的盂蘭勝會,尤其潮州僑團與街坊,都有一番隆重儀式,作大法會,燒衣施食,供養孤魂,影響所及,遂使一般市民,莫不以為盂蘭盆是鬼 節。其實,大家對盂蘭盆節的真正含義,已日漸忽視。由於不知它的由來,自然難以照它的原意實行,大家祇是依樣畫葫蘆,不問青紅皂白。
  
盂蘭盆原是印度話,翻成華語是「救倒懸」的意思。是說受苦極重的眾生,有如倒懸,現在有人設法救其出苦。吾國舉行盂蘭盆齋,是肇始於梁武帝大同四年,後漸盛行,一直流傳至今。
  
盂蘭盆節的故事,原出在佛教的大目犍連尊者。目連是釋迦佛的十大弟子之一,他出家後精進修道,不久便證阿羅漢果,獲得六種神通。所謂六種神通是︰
  一、神足通,變現自在,往來無礙。二、天眼通,天堂地獄,洞見無礙。三、天耳通,遠近聽聞無礙。四、他心通,他人心念,悉知無礙。五、宿命通,知己及人,前身無礙。六、漏盡通,煩惱漏盡,生死無礙。
  
目連自出家後,未能知亡母生於何處,今既 獲得神通,即以天眼上觀二十八層天,下視十八層地獄,到處找尋,結果均無所得。繼而再觀餓鬼道中,見有無數奇形怪狀的餓鬼在那受苦,於此一剎那間,目連 忽然發現亡母也在其內,腹大如鼓,咽若針孔,經年累月,饑渴交逼。目連見其母這種淒慘狀況,萬分悲痛。於是立即以缽盛飯,用神足通,往奉其母,母得飯後, 即用手護缽,恐怕餘鬼侵食,右手摶食,以為暫可充饑。不料,其母因生前慳貪,墮落鬼道,必須受報,飯到唇邊,忽然化成火炭。目連神通雖大,亦無可奈何,目 連悲哀號叫,盤桓良久,終無他計,便奔往佛處,將經過對佛陳述,請佛設施方便,挽救其母。
  
佛說,汝母罪根深重,生前不信三寶,常殺 害生命,撥無因果,廣造眾罪,故今受報,但憑汝一人之力,何能挽救?唯一辦法,藉十方眾僧威神之力,方能令她脫離痛苦。意謂佛陀雖然法力不可思議,也不能 直接挽救其母,因為佛也不能轉定業。必須俟七月十五日,眾僧結夏安居結束,以珍饈百味,或以床敷臥具,供養十方大德僧眾。憑藉僧眾同心合力,為其母親發願 回向,才能把其母從餓鬼道中救出生天。
  
結夏安居是一種佛制,出家僧侶,於四月十 五日至七月十五日,結夏安居,不准隨處遊蕩。應在山間入定,或在樹下打坐,有自利者,得證阿羅漢果;有利他者,眾生亦可轉凡成聖,至七月十五這日,大家雲 集一處,共同行自恣法。在此三月中,若有犯過者,隨人恣舉所犯,當眾發露懺悔。此日凡聖同聚會,聖者已證聖果,凡者經自恣後,也得清淨,故又稱是日為「佛 歡喜日」。因此,若有人於此日設齋供僧,能獲無量殊勝功德。經云︰「其有供養此等自恣僧者,現世父母六親眷屬,得出三塗之苦,應時解脫,衣食自然。其父母 現在者,福樂百年。若七世父母者,皆可生天,自在化生。」

目連依佛所示,得償救母之願。








Sunday, 16 August 2015

12 Desember


11 November 2016


10 Oktober 2016


09 September 2016


08 Agustus 2016


07 Juli 2016


06 Juni 2016


05 Mei 2016


04 April 2016


03 Maret 2016


02 Februari 2016


01 Januari 2016


Friday, 14 August 2015

Putri Cui Zhi Mencari Ikan



Putri Cui Zhi Mencari Ikan

Pada masa Dinasti Song, Cui Zhi memiliki seorang putri, sifatnya berbakti. Pada waktu musim dingin, ibundanya yang dikarenakan sudah lama sakit-sakitan, ingin makan ikan segar. Tetapi permukaan air sungai sudah membeku, menjadi lapisan es yang tebal.      

Karena dalam waktu seketika tidak berhasil membeli ikan, putri dari Cui Zhi ingin meniru kisah Wang Xiang yang mencari ikan dengan cara merebahkan dirinya di atas permukaan es sehingga lapisan es mencair dan berlubang. Abang dan adiknya berusaha menghalanginya, menyuruhnya agar jangan bertindak sedemikian.  

Putri Cui Zhi berkata : ”Abang, apakah karena saya adalah seorang perempuan, maka ditakutkan tidak mampu melakukannya?”

Kemudian dia menulis selembar surat pemberitahuan lalu membakarnya, untuk menyampaikannya pada Langit. Lalu dia berangkat bersama pengasuhnya ke tepi sungai.

Dia melepaskan bajunya, memecahkan lapisan es permukaan sungai. Kemudian dia masuk ke dalam sungai, meraba-raba akar rerumputan di dasar sungai. Demikianlah setelah sepuluh hari berlalu, dia memperoleh tiga ekor ikan. Dia membawa ikan-ikan tersebut pulang dan mempersembahkannya kepada ibundanya.

Ada orang yang bertanya padanya : “Kamu masuk ke dalam air, apa tidak takut kedinginan?”

Putri Cui Zhi berkata : ”Karena tekadku sudah bulat, maka kekuatanku juga penuh, sehingga tidak merasa dingin sama sekali”.



Shou-ren Melatih Diri



Shou-ren Melatih Diri

Pada pertengahan periode Dinasti Ming, terdapatlah seorang pemikir besar yang bernama Wang Shou-ren. Kampung halamannya di Kabupaten Yuyao, Provinsi Zhejiang, lalu mengikuti ayahnya pindah ke Shaoxing.

Dia pernah membangun gubuk dan melatih diri di dalam Gua Yangming, di Gunung Huiji yang terletak di bagian tenggara Shaoxing, penduduk sekitar menyapanya sebagai “Tuan Yangming”.

Ayahanda Wang Shou-ren bernama Wang Hua merupakan pejabat asisten menteri, selalu menceramahkan klasik Ajaran Konfusius, kepada kaisar dan pejabat lainnya, menerima pujian dari Aliran Ajaran Bakti.  

Wang Shou-ren sejak kecil telah memiliki jiwa ksatria, kepintarannya melampaui orang lain. Saat berusia 12 tahun, pernah mengajukan pertanyaan pada guru : “Apa yang menjadi urusan terbesar manusia?”

Guru menjawab : “Tentunya sekolah adalah urusan utama ”.

Tetapi Shou-ren malah berkata : “Lulus ujian negara dan mendapat gelar sarjana mungkin bukan urusan utama, tetapi belajar itu seharusnya meneladani insan suci dan bijak”.


Wang Shou-ren yang masih berusia kecil telah mengerti bahwa cita-cita harus ditujukan ke arah insan suci dan bijak, barulah merupakan urusan yang paling penting dalam kehidupan ini.


Dao-shou Mempersembahkan Tongkat



Dao-shou Mempersembahkan Tongkat

Pada masa Dinasti Yuan, ada seorang bernama Xiao Dao-shou. Ibundanya telah berusia 80 tahun. Dia menjaga sang bunda dengan segenap hati.

Setiap pagi ketika ibundanya bangun, dia bersama istrinya akan mengurus ibunda mencuci muka dan menyisir rambut. Setiap tiba waktu makan, mereka akan menunggu setelah ibundanya selesai makan, barulah mereka memulai makan.  Saat malam tiba, harus menanti setelah sang bunda tertidur barulah mereka tidur.

Kadang kala ketika ibundanya sedang marah dan ingin menghukum dirinya, maka Dao-shou dengan sendirinya akan mengambil tongkat dan menyerahkannya kepada bundanya. Dao-shou akan berlutut di lantai menahan pukulan. Selesai dipukuli, dia takkan berani berdiri kembali, sampai bundanya menyuruhnya berdiri, barulah dia berani bangkit.


Setelah berdiri, Dao-shou akan bersujud pada ibundanya, berterimakasih atas hukuman yang diberikan karena telah melanggar didikan sang bunda. Lalu dia akan berdiri di samping ibundanya hingga emosi sang bunda reda dan wajah sang bunda tampak gembira, barulah dia berani pamit dan beranjak pergi.  


Li Yuan Menepati Janji



Li Yuan Menepati Janji

Pada masa Dinasti Tang terdapat seorang yang bernama Li Yuan. Dia bersahabat dengan seorang Bhiksu yang bernama Yuan Guan. Ketika Yuan Guan menghadapi ajalnya, mengadakan perjanjian dengan Li Yuan.  12 tahun kemudian pada festival pertengahan musim gugur, saat malam bulan purnama, di Vihara Tian Zhu, Hangzhou, mereka akan bertemu lagi.  

Ketika hari tersebut tiba, Li Yuan menuju Vihara Tian Zhu untuk menepati janjinya. Pada saat itu bulan sedang purnama, cahaya bulan memenuhi permukaan air Danau Xihu, ibarat berada di dunia lazuardi. Tetapi harus ke mana baru bisa bertemu Bhiksu Yuan Guan.

Li Yuan yang merasa agak kesulitan, tiba-tiba mendengar suara anak gembala yang sedang duduk di atas punggung kerbaunya, sambil bernyanyi dia menuju ke arahnya. Ketika anak gembala itu sampai di depan pintu vihara, Li Yuan memastikan bahwa anak gembala itu adalah tumimbal lahir dari Bhiksu Yuan Guan.

Li Yuan bertanya : “Yuan Guan, apakah selama ini anda baik-baik saja?”  

Yuan Guan menjawab : “Anda benar-benar orang yang menepati janji, tetapi anda dan saya telah berada di jalan yang berbeda, maka itu tidak perlu menyambut diriku. Semoga anda tidak malas melatih diri, maka kelak kita akan bersua lagi”.

Setelah menyelesaikan ucapannya, sambil menyanyikan lagu anak gembala itu berjalan pergi.  


Cai Shen Membuka Lumbung Padi



Cai Shen Membuka Lumbung Padi

Pada masa Dinasti Song ada seorang yang bernama Cai Shen, merupakan kandidat yang lulus seleksi mengikuti ujian negara, dia juga pernah menjabat sebagai doktor di Perguruan Tinggi Kekaisaran. Selanjutnya dia diangkat menjadi hakim di empat daerah antara lain di Zhenzhou, Raozhou, Xuzhou dan Chuzhou.

Ketika berada di Zhenzhou, terjadi kebakaran yang melalap lebih dari seribu rumah. Korban kebakaran tidak mempunyai rumah yang bisa dihuni lagi. Hanya bisa tinggal di alam terbuka di atas permukaan tanah bersalju. Sepanjang jalanan dipenuhi oleh suara tangisan lansia dan anak-anak yang terdengar begitu memprihatinkan.   

Cai Shen memerintahkan untuk membuka vihara dan kelenteng untuk umum, memberi tempat bagi para korban kebakaran untuk berteduh, bahkan kantor pemerintah juga dibuka untuk tempat tinggal para korban kebakaran.

Selain itu dia juga membuka lumbung padi untuk menolong para korban. Mulanya pejabat pengurus lumbung tidak sudi membukanya, tetapi Cai Shen berkata : “Ini adalah persediaan yang dipersiapkan oleh negara, yang digunakan bila terjadi bencana. Sekarang adalah waktunya digunakan. Jika harus disalahkan, maka saya sendiri yang akan menanggungnya.”

Kemudian persoalan ini dibawa hingga ke hadapan kaisar. Pihak istana mengampuni Cai Shen dan tidak mengajukan pertanyaan padanya. Lalu dia dipindahtugaskan ke Chuzhou dan Hezhou menjadi gubernur.   



Jiang Ni Melindungi Adiknya



Jiang Ni Melindungi Adiknya

Pada masa Dinasti Ming, putri dari Jiang Xi-min yang bernama Jiang Ni, merupakan penduduk Kabupaten Quanzhou. Ketika berusia 17 tahun, ayahbundanya meninggal dunia. Dua adiknya masih sangat kecil usianya, bahkan juga sakit-sakitan.

Maka itu Jiang Ni bertekad untuk tidak menikah. Pihak keluarga nenek luarnya bermaksud menjadi comblangnya. Kemudian mereka mengutarakan niat ini kepada Jiang Ni.

Jiang Ni menolaknya dan berkata : “Andaikata saya menikah maka kedua adikku tidak ada yang menjaganya lagi. Dengan demikian penerus ayahanda akan berada dalam ancaman bahaya. Bagaimana mungkin saya tega berbuat sedemikian. Lebih baik saya mengorbankan kebahagiaan diri sendiri, demi melindungi penerus ayahanda. Tekadku ini sudah bulat, mohon kalian jangan lagi mengungkit hal ini”. Maka itu  pihak keluarga nenek luarnya menghapus niat pikiran ini.

Kemudian, Jiang Ni mengelola harta warisan ayahnya. Dengan segenap hati membesarkan kedua adik laki-lakinya. Penyakit yang mereka derita juga berangsur-angsur menjadi sembuh. Setelah kedua adiknya dewasa, mencarikan pasangan yang serasi buat adiknya.


Selanjutnya harta kekayaan mereka kian hari kian bertambah, kedua adiknya amat berterimakasih atas budi kebajikan sang kakak. Sepanjang hidupnya, mereka berbalik menjaga Jiang Ni, serupa dengan menjaga ibu kandung, penuh dengan ketulusan dan rasa hormat.


Lan Gen Membebaskan Gadis Jelita



Lan Gen Membebaskan Gadis Jelita

Pada masa Dinasti Wei Utara (386-534), ada seorang yang bernama Wei Lan-gen. Jenjang pendidikannya tinggi, juga amat berbakat. Setelah ayahnya meninggal dunia, dia mendirikan sebuah gubuk di samping kuburan ayahnya dan tinggal di dalamnya untuk menjalani masa perkabungan. Kesedihannya yang amat mendalam, tangisannya hampir merusak kesehatannya sendiri.

Kemudian dia  menjadi Gubernur Provinsi Qizhou. Pada saat itu, Xiao Bao-yin membawa pasukan prajurit menyerang kota di Wanchuan. Lalu menangkap sepuluh gadis cantik untuk dipersembahkan kepada Wei Lan-gen.

Wei Lan-gen berkata, kota ini oleh karena dikuasai gerombolan bandit, maka itu penduduk terpaksa menunduk pada para bandit tersebut untuk menyelamatkan diri masing-masing.

Penduduk selalu berharap agar pasukan prajurit segera tiba untuk menyelamatkan nyawa mereka, begitu pasukan prajurit tiba, seharusnya mengasihani mereka dan bahkan juga memberi ganti rugi bagi para penduduk yang terluka.

Mengapa malah meniru perbuatan para bandit, melakukan tindakan yang menindas rakyat, sekarang pergilah mencari ayahbunda dari masing-masing gadis jelita ini. Lalu minta mereka membawa pulang putri mereka.


Moralitasnya yang begitu bajik dan benar sehingga kemudian Wei Lan-gen diangkat menjadi bangsawan di Kabupaten Yongxing.


Buddha Ada Di mana



Buddha Ada Di mana

Pada masa Dinasti Ming terdapatlah seorang yang bernama Yang Pu, dia mendengar di Sichuan ada Master Wu Ji yang merupakan jelmaan Bodhisattva, maka itu dia bermaksud pergi ke Sichuan belajar Ajaran Buddha pada Master Wu Ji.

Di tengah jalan dia bertemu dengan seorang Bhiksu tua, sepasang matanya memancarkan maitri karuna, berkata pada Yang Pu : “Master Wu Ji adalah guruku, beliau mengetahui kedatanganmu, maka itu saya diutus untuk menyambutmu sambil menyampaikan pesan padamu bahwa daripada pergi menemui Master Wu Ji lebih baik pergi bertemu dengan Buddha Hidup”.

Yang Pu bertanya : “Jadi dimanakah Buddha Hidup itu berada?”

Bhiksu tua itu memberitahukan Yang Pu, pertama-tama ikuti jalur jalan pulang kembali ke rumahnya, kemudian akan bertemu dengan seseorang, dengan ciri-ciri sebagai berikut, mengenakan selimut warna kuning dengan terbalik dan memakai sandal juga terbalik, ingatlah dengan seksama, jika anda bertemu dengan orang yang berdandan sedemikian rupa, maka janganlah sampai terlewatkan, dia adalah Buddha Hidup.

Setelah mendengarnya Yang Pu amat kegirangan, siang malam menempuh jalan ingin cepat-cepat bertemu Buddha Hidup. Akhirnya waktu tengah malam baru sampai di rumahnya.

Ibunda Yang Pu yang begitu mendengar ketukan pintu yang dikenalinya itu segera melompat dari tempat tidurnya, dengan tergesa-gesa ingin segera membukakan pintu untuk anaknya, sehingga melupakan udara dingin yang menusuk di musim dingin, juga melupakan harus mengenakan baju hangat, kerinduannya yang setiap hari dipendam mengharapkan kepulangan sang anak.

Akibat luapan kegembiraan telah membuatnya panik sehingga tidak sempat lagi mengenakan baju dingin dan karena ingin cepat-cepat membukakan pintu, maka dia memakai selimut kuning untuk melindunginya dari hawa dingin. Sandal yang dipakai juga jadi terbalik.

Begitu pintu terbuka, Yang Pu jadi terkejut dan jadi mengerti, ternyata berbakti pada ayahbunda lebih penting daripada pergi bertemu Buddha Hidup. Selanjutnya dia lebih giat berbakti pada ibundanya, kemudian dia menulis penjelasan pada “Klasik Bakti”, mengingatkan manusia di dunia ini supaya baik-baik berbakti pada ayahbunda.



Thursday, 13 August 2015

Li-gui Bersembahyang



Li-gui Bersembahyang

Pada masa Dinasti Han terdapatlah seorang yang bernama Chen Xing. Istrinya bernama Yang Li-gui, melahirkan dua orang putra. Kedua putranya ini telah berkeluarga. Pihak keluarga kedua menantu perempuannya merupakan keluarga berada.

Sejak menikah, pelayannya ada 7-8 orang, perhiasan dan harta benda juga banyak, tetapi Yang Li-gui tidak peduli keluarga menantu perempuannya sekaya apapun, dia tetap menggunakan tata krama keluarga yang diwariskan oleh mertua perempuannya, untuk mendidik kedua menantunya, dirinya sendiri juga melakukan pekerjaan kasar dan berat, kedua menantunya yang melihat kepribadian mertuanya adalah sedemikian, maka itu menerima didikan keluarga.


Kemudian terjadi gejolak politik, Keluarga Yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Tetapi meskipun demikian, setiap kali saat hari besar menyembahyangi leluhurnya Li-gui pasti mempersembahkan sesajian terbaik, katanya : “Kita harus tahu bahwa sembahyang itu di dalam tata krama merupakan hal yang paling dijunjung”.